Ketika Sakit Itu Datang

SAKIT ini mendadak sekali. Sehari sebelumnya saya masih bekerja. Tapi kemudian divonis sakit. Saya harus menjalani rawat inap, kemudian masuk ruang operasi.

Istri saya sebenarnya sudah cerewet dan terus meminta saya memeriksakan diri ke klinik untuk gangguan yang saya derita beberapa hari terakhir. Awalnya saya abaikan. Tapi begitu terasa makin mengganggu dan nyeri, saya harus mendengarkan dan mengikuti sarannya.

Saya coba pakai fasilitas BPJS Kesehatan yang selama bertahun-tahun tidak pernah digunakan. Kaget juga waktu lihat kartunya. Ternyata sudah begitu kusam dan separuh rusak karena terlalu lama disimpan di dompet. 🙂

Gangguan yang saya alami membuat tidak nyaman berdiri dan duduk. Ada rasa sakit dan nyeri. Sedari awal, saya pesan ke istri bahwa saya harus diperiksa oleh dokter pria. Bukan dokter wanita!

Istri saya kemudian menjanjikan bahwa yang memeriksa saya adalah dokter pria. Kami kemudian pergi ke klinik dekat rumah, sesuai fasilitas BPJS Kesehatan yang saya punya. Sedari awal mendaftar untuk konsultasi, saya tenang saja walau agak terganggu dengan gangguan yang saya derita belakangan.

Pikir saya, konsultasi sebentar di sini, kemudian diberi obat, saya langsung bisa ke kantor dan bekerja lagi.

‘Pak, silahkan’. Kata seorang perawat mempersilahkan saya masuk ke ruang konsultasi dokter.’

Eh, bukan cowok ya’? Tanya saya spontan begitu berada di ruang konsultasi.

Dokter yang berada di dalam ternyata wanita!

Usianya masih muda. Saya tebak, paling tidak lebih tua dari keponakan saya yang baru disumpah jadi dokter gigi.

‘Dokter yang cowok bertugas tadi pagi, pak. Bapak ada keluhan apa ya? Mungkin saya bisa bantu’? Katanya ramah.

Belakangan saya tahu. Dokter yang bertugas saat itu alumni fakultas kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Walau masih muda, orangnya cekatan dan ramah.

Istri saya merasa bersalah karena salah prediksi. Saya tersenyum padanya. Kemudian menyampaikan keluhan yang dialami. Agar proses cepat, saya bersedia diperiksa oleh dokter wanita.

Proses pemeriksaan selanjutnya saya skip. 🙂

—————
SAYA lega bisa keluar dari ruang periksa dengan membawa kertas resep obat untuk dibawa ke bagian apotik. Setelah menunggu 15 menit, obat pesanan sesuai resep itu siap. Saya bergegas menghampiri petugas apotik sambil mendengarkan dengan seksama aturan penggunaan yang disampaikan.

‘Pak, pak, sebentar. Saya pikir lebih baik bapak dirujuk saja ke spesialis untuk mendiagnosa gangguan yang bapak derita’.

Tiba-tiba dokter wanita muda yang tadi menangani saya sudah keluar dan berdiri di samping. Ia memberi opini tambahan terhadap gangguan yang saya alami dan belum disampaikan saat di ruang konsultasi tadi.

Kami kemudian terlibat diskusi seputar gangguan yang saya alami. Saya yakin dengan opininya dan akhirnya bersedia mengikuti sarannya untuk dirujuk. Obat yang terlanjur diresepkan, batal saya ambil.

‘Bapak mau ke rumah sakit mana dan dengan dokter spesialis siapa? Biar langsung saya buatkan rujukannya’. Katanya ramah setelah saya dipersilahkan kembali masuk ke ruang konsultasinya.

Karena mau cepat selesai, saya pilih rumah sakit yang terdekat saja dari rumah dengan pilihan dokter spesialis bedah yang ada di sana. Pikir saya, tidak apa-apa sesekali tidak berurusan dengan pekerjaan. Yang penting, masalah gangguan saya ini bisa selesai hari ini.

Besok toh, saya sudah bisa beraktifitas lagi.

—————
RAUT wajah dokter spesialis bedah yang menangani saya berubah. Beberapa kali ia mengambil sampel cairan dari tubuh saya untuk memastikan. Dokter yang menangani saya kali ini pria. 🙂

‘Bapak dirawat inap ya. Besok malam kita operasi’! Katanya.

Ini mengejutkan! Saya tidak menyangka bakal seperti ini akhirnya. Begitu yakinnya bahwa rujukan ini hanya untuk mendapat penanganan atas obat yang lebih baik dari sebelumnya. Ternyata saya harus menjalani operasi!

Seumur hidup saya belum pernah berurusan dengan rumah sakit hingga harus menjalani rawat inap. Apalagi harus masuk ruang operasi. Saya tidak siap, tapi harus membuat keputusan terbaik untuk tubuh saya.

Dokter sebelumnya memang sudah berhasil mengeluarkan cairan yang mengganggu dan membuat rasa nyeri. Tapi, dokter spesialis saya bilang saluran yang sudah terlanjur terbentuk, rentan dimasuki cairan baru dan resiko berulangnya tetap besar.

Solusinya, saluran itu harus dipangkas. Proses bedah dilakukan untuk mengiris dan membuang saluran serta jaringan rusak yang sudah terlanjur terbentuk.

Baiklah, saya bersedia.

——————-
SAYA sekamar dengan salah satu manager Agung Podomoro yang sedang mengerjakan proyek perumahan di Batam. Dia sudah seminggu dirawat karena menderita usus buntu yang sudah akut sekali.

‘Saya terlambat tahu penyakit ini. Tahu-tahu sudah kolap. Ternyata usus buntu saya sudah pecah dan saya harus menjalani operasi besar’. Kata teman sekamar saya itu dengan wajah yang menyiratkan kesakitan.

Di tubuhnya sudah terpasang 3 selang untuk saluran pembuangan besar, kateter untuk buang air kecil plus selang infus. Dia hanya bisa terbaring kesakitan. Entah, sudah berapa banyak jarum suntik yang dimasukkan selama seminggu dirawat.

Saya membandingkan diri saya yang baru dimasukkan selang infus, plus lima bekas jarum suntik di tubuh. Jadwal operasi masih beberapa jam lagi dan saya meyakinkan diri sendiri bahwa ini cuma operasi kecil dengan bius lokal.

————-
SEKITAR sejam sebelum operasi, seorang perawat datang. Ia membawa satu set peralatan kateter untuk buang air kecil.

‘Maaf, pak. Apa sudah siap untuk dipasang kateter? Sebentar lagi jadwal operasinya’.

‘Lho, harus pasang kateter? Bukannya ini cuma operasi kecil? Saya keberatan lah‘.

Perawat itu kemudian menjelaskan bahwa saya akan menjalani operasi besar sehingga perlu dipasang kateter. Saya kaget, tapi tetap keberatan karena merasa itu tidak perlu. Dan yang paling utama, saya takut karena akan terasa menyakitkan sekali.

Karena tetap keberatan, perawat itu kemudian pergi. Tidak berapa lama ia kembali lagi dengan dokter spesialis yang menangani penyakit saya.

‘Kenapa bapak keberatan dipasang kateter‘? Tanya dokter spesialis saya dengan tersenyum.

Penjelasan selanjutnya dari dokter spesialis saya skip karena terlalu teknis. Saya akhirnya pilih menyerah untuk dipasangi benda asing di kelamin saya itu.

Kateter itu akhirnya dipasang. Tapi di luar prediksi, pemasangannya berlangsung lama sekali. Saya harus berkali-kali menahan sakit saat benda itu coba diarahkan ke saluran buang air kecil saya.

Kok lama sekali? Ini dokter dan tim sudah standby di ruang operasi dari tadi’. Kata perawat kepala yang tiba-tiba masuk ke ruangan saya.

Perawat yang menangani saya menjelaskan bahwa air pembuangan saya belum bisa dipancing untuk keluar sendiri. Ia masih berusaha mencari celah mengatasinya.

‘Sudah, sudah. lepas saja. Segera bawa pasien ke ruang operasi. Tim sudah menunggu di sana’! Kata sang perawat kepala memberi solusi pemecahan masalah.

Alhamdulillah. Saya kemudian dibawa ke ruang operasi dengan peralatan kateter yang sudah dilepaskan lagi dan diletakkan di sisi kiri saya.

————-
SAYA masuk di ruang operasi. Sudah ada belasan orang di sana. Karena masih sadar, saya coba hitung jumlahnya.

Ada 4 tim anestesi di bagian atas kepala. Di ujung ruangan, 4 perawat berpakaian standar operasi sedang mempersiapkan alat bedahnya. Di sisi kanan saya juga ada 3 anggota tim lainnya. Sepertinya mereka bertugas mengendalikan peralatan kontrol elektronik medis seperti detak jantung, tekanan darah dan penghitung waktu operasi. Tangan, kaki dan tubuh saya kemudian dipasangi peralatan itu.

‘Selamat malam. Saya dokter anestesi yang menangani pembiusan untuk operasi malam ini’.

Seorang pria paruh baya dengan wajah ramah menyapa dari bagian atas kepala.

Ia mempersilahkan saya untuk duduk di meja operasi, kemudian menjelaskan proses pembiusan yang akan dilakukan. Penjelasannya mudah dimengerti dan akhirnya membuat saya nyaman berada di ruang operasi ini.

Di ujung pintu ruang operasi, saya lihat dokter spesialis saya sudah siap dengan baju standarnya. Ia masih sibuk mengutak-atik telepon pintar sembari memperhatikan persiapan operasi. Ia melihat ke saya. Melambai dan tersenyum bersahabat.

Saya makin nyaman berada di ruangan ini. Apalagi saat obat bius mulai bekerja penuh.

Skip.

————–
SAYA menulis ini saat dalam proses pemulihan. Saat hanya bisa terbaring dan sesekali memaksakan diri untuk duduk dengan posisi yang harus hati-hati sekali.

Sakit ini menyadarkan saya. Karena jarang sakit, apalagi yang berat, saya sering abai terhadap kesehatan diri sendiri. Saya juga mungkin sombong dan merasa punya fisik yang kuat.

Saya sakit menjelang Ramadhan. Awal Ramadhan ini, proses pemulihannya baru berjalan. Sakit ini membuat saya perlu berubah. Mungkin belum bisa terlalu banyak. Tapi perlahan saya akan berubah jadi lebih baik.

Saya menulis ini agar bisa dibaca lagi jika suatu saat khilaf. Jika kembali abai terhadap kesehatan.

Ingatkan saya, Neng. (*)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.